WHAT'S NEW?
Loading...

Sejarah Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (1830–1870) di Indonesia

kali ini ane mau share tugas, yah tugas!! namanya juga anak sekolah. tugas satu ini ane disuruh untuk mempresentasikan Sistem Tanam Paksa Di Indonesia, namun kaga pake ppt cuma ngomong doank. langsung aja di simak gan :)



Latar Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa

Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.

Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. 

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut.

1    1. Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2     2. Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3     3. Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.

Aturan-Aturan Tanam Paksa

Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

1 1. Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2 2.  Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3 3. Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4 4.  Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5 6.Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6 7. Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7 8. Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepala-kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.



Pelaksanaan Tanam Paksa

Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.

11)   Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
22)     Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
33)     Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
44)     Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
55)     Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah.
66)     Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata tidak dikembalikan.

 Akibat Tanam Paksa

Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.

1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a1)     Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b2)     Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c3)      Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d4)     Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e5)     Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. 

Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.

2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:

a1)     Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b2)     Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c3)      Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d4)     Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e5)     Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
 f6)       Perdagangan berkembang pesat.

Akhir Tanam Paksa

Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.

1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.

2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.

3) Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.

Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsur-angsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
Sistem Usaha Swasta

Sesudah tahun 1850, kaum liberal memperoleh kemengangan politik di Negeri Belanda. Mereka juga ingin menerapkan asas-asas liberalisme di tanah jajahan. Dalam hal ini kaum liberal berpendapat bahwa pemerintah semestinya tidak ikut campur tangan dalam masalah ekonomi; tugas ekonomi haruslah diserahkan kepada orang-orang swasta; agar kaum swasta dapat menjalankan tugasnya maka harus diberi kebebasan berusaha.

Sesuai dengan tuntutan kaum liberal maka pemerintah kolonial segera memberikan peluang kepada usaha dan modal swasta untuk menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha di Indonesia, terutama perkebunan-perkebunan di Jawa dan di luar Jawa. Selama periode tahun 1870–1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat. Itu sebabnya zaman itu sering disebut zaman Liberal. Selama masa Liberal, kaum swasta Barat aktif membuka perkebunan-perkebunan seperti, kopi, teh, gula, dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatra Timur.

Pembukaan perkebunan besar itu dapat dilakukan dengan adanya Undang-Undang Agraria 1870. Adapun tujuannya ialah sebagai berikut.

1) Untuk melindungi hak milik petani-petani pribumi atas tanahnya, dari penguasaan orang-orang asing.
2) Peluang kepada para pengusaha asing untuk dapat menyewa tanah dari rakyat Indonsia.

Dengan demikian, para pengusaha hanya dapat diperbolehkan menyewa tanah-tanah petani dalam jangka waktu tertentu dan tidak boleh membelinya. 

Dalam Undang-Undang Agraria juga telah disebutkan bahwa tanah yang boleh disewa digolongkan menjadi dua macam.

1) Tanah milik negara, yaitu tanah-tanah yang tidak secara langsung menjadi milik penduduk pribumi ( di luar wilayah desa). Tanah ini dapat disewa selama 75 tahun.
2) Tanah milik penduduk pribumi, misalnya sawah, ladang, dan yang sejenis yang dimiliki langsung oleh penduduk desa. Tanah ini dapat disewa dalam jangka waktu 5 tahun atau sampai dengan 30 tahun.

Harapan kaum liberal untuk membuka tanah jajahan bagi perkembangan ekonomi Hindia Belanda ternyata dapat tercapai. Perkebunan gula, kopi, tembakau, dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya diusahakan secara luas dan meningkat secara cepat. Untuk memperlancar perkembangan produksi tanaman ekspor maka pemerintah membangun waduk-waduk dan saluran-saluran irigasi. Selain irigasi juga dibangun jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Pembangunan jalan dimaksudkan untuk menunjang kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang kemudian diteruskan ke luar.

Selama zaman Liberal (1870–1900), usaha-usaha perkebunan swasta Barat mengalami kemajuan pesat dan mendatangkan keuntungan yang besar bagi pengusaha. Kekayaan alam Indonesia mengalir ke Negeri Belanda. Akan tetapi, bagi penduduk pribumi, khususnya di Jawa telah membawa kemerosotan kehidupan dan kemunduran tingkat kesejahteraan. Hal ini sangat terasa sejak adanya krisis perkebunan tahun 1885 yang mengakibatkan uang sewa tanah dan upah pekerja di pabrik serta perkebunan menurun.

Pada akhir abad ke-19, muncullah kritik-kritik tajam yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda akibat praktik liberalisme yang gagal memperbaiki nasib kehidupan rakyat Indonesia. Para pengkritik menganjurkan untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Kebijaksanaan ini didasarkan atas anjuran Mr. C. Th. Van Deventer yang menuliskan buah pikirannya dalam majalah De Gids (perinstis/pelopor) dengan judul Een Ereschuld (Berhutang Budi) sehingga dikenal dengan nama politik etis atau politik balas budi. Gagasan Van Deventer terkenal  dengan nama Trilogi Van Deventer yang isinya sebagai berikut.

1) irigasi atau pengairan (memperbaiki pengairan);
2) emigrasi atau pemindahan penduduk atau transmigrasi;
3) edukasi atau pendidikan (memajukan pendidikan).

Nah sekian dari ane, semoga bermanfaat :D di tunggu juga komentar, kritik dan sarannya gann!! :D

0 komentar:

Posting Komentar

Author & Editor

Author & Editor
Satrio Muhammad