LEWS diperkenalkan pada pameran Pertemuan Ilmiah Tahunan Ahli Kebencanaan di kampus Institut Teknologi Bandung, 23-24 Mei 2016. Menurut salah seorang anggota tim, Elfi Yuliza, sistem peringatan dini longsor tersebut terbagi dalam beberapa alat.
LEWS digagas oleh dosen Fisika ITB Khairurrijal dan Muhammad Miftahul Munir yang dikerjakan bersama berbagai angkatan mahasiswa.
Perangkat anak (node) yang seukuran batu batako, merupakan pengukur fisik dan pengumpul data dengan sensor pengukur kelembaban atau kandungan air pada tanah lereng. Kemudian ada sensor tekanan air di dalam tanah.
Kedua sensor tersebut ditanam atau dipasang di bawah tanah lereng seperti tiang besi penyangga kotak. “Data yang terkumpul secara real time kemudian dikirimkan lewat radio frekuensi ke kotak induk,” kata Elfi.
Dari kotak induk yang dilengkapi alat pengukur curah hujan, kumpulan datanya dikirim ke website atau operator memakai sistem GSM (Global System for Mobile communications). Analisa data sistem kemudian memberi petunjuk tanah lereng masih aman atau sudah akan longsor. “Longsor itu kan ada tanda-tandanya, itu yang dipantau dan diberi tahukan ke warga sebelum kejadian,” ujarnya.
Anggota tim lain, Rahmat mengatakan, di tiap lokasi rawan longsor minimal perlu dipasangi dua alat LEWS. Sejauh ini alat belum dijajal di lereng tebing, setelah sebelumnya dipakai untuk ujicoba bersama peneliti dari LIPI Bandung dan BPPT.
Tempo.co
0 komentar:
Posting Komentar