WHAT'S NEW?
Loading...

Megahnya Rumah Raja Nias, Omo Nifolasara Sebua


Singgah di Pulau Nias, tak lengkap jika tak pergi ke desa adat Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Telukdalam, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Di sana kita dapat menyaksikan bukti sejarah kejayaan leluhur masyarakat Nias yang masih terjaga dengan baik. Perhatian saya pun tertuju pada sebuah rumah besar berbentuk persegi dengan atap menjulang ke angkasa setinggi kurang lebih 40 meter. Omo Nifolasara Sebua demikian nama rumah besar itu yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti rumah besar yang menjadi pusat orientasi desa.
Rumah besar yang tak lain milik raja di desa itu berada tepat di tengah-tengah kampung dan paling besar di antara omo hada (rumah tradisional) lainnya. Untuk menambah kemegahan rumah serta untuk menunjukkan kekuasaan pemiliki rumah biasanya omo sebua (rumah besar) ditambah 3 lasara (3 naga) serta berbagai ornamen yang menambah kesan magis.

Konstruksi Omo Nifolasara Sebua sangat unik, dibangun tanpa paku. Hanya dengan pasak kayu untuk mengikat dan menyambung palang kayu satu dengan yang lain. Pada bagian bawah rumah disangga oleh kurang lebih 60 tiang yang saling menyilang dan beberapa di antaranya merupakan tiang kayu glondongan (utuh dan bulat) yang sangat besar. Konon didatangkan dari luar Pulau Nias, seperti Pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar Nias.
Saya mencoba untuk memeluk salah satu tiang yang ada di tengah bangunan, tapi rengkungan kedua tangan saya tak cukup untuk memeluknya. Artinya tiang-tiang penyangga rumah itu sangatlah besar. Tak heran, saat gempa besar menimpa Nias, rumah ini tetap berdiri tegak meski sempat goyang ke kiri dan kanan. 
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat, Omo Nifolasara Sebua ini dibangun oleh 40 pekerja ahli, dan menghabiskan masa empat tahun untuk merampungkannya. Selama itu, tiap harinya dua ekor babi disediakan untuk makan para pekerja. Puncaknya, 300 ekor babi dihidangkan saat Omo Nifolasara Sebua selesai dibangun. Uniknya, seluruh tengkorak kepala babi selama empat tahun dijadikan dekorasi interior rumah dan masih ada hingga kini.
Di balik megahnya bangunan rumah raja ini terdapat kisah sadis. Masih menurut cerita salah seorang warga di kampung itu, setelah Omo Nifolasara Sebua selesai dibangun, atas perintah raja, 40 pekerja yang mengerjakan Omo Nifolasara Sebua dibunuh. Ini dilakukan agar teknik pengerjaan rumah tidak disebarkan dan ditiru.

Interior yang unik
Saya mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam rumah besar (Omo Sebua). Karena itu bisa melihat keunikan penataan interior yang bisa jadi sudah berubah tapi tidak terlalu banyak.
Yang unik lainnya dari rumah raja adalah jalan masuk ke dalam rumah yang berada pada bagian tengah melewati kolom bangunan. Sedangkan Omo Hada pada umumnya memiliki jalan masuk (tangga) berada di samping bangunan.
Jarak antaranak tangga cukup tinggi sehingga perlu kekuatan ekstra untuk menapakinya. Setiba di atas, embusan angin yang menerobos melalui kisi-kisi bangunan rumah menerpa wajah. “Ternyata di dalam rumah tidak panas” batinku.
Terdapat ruangan luas yang difungsikan sebagai ruang utama untuk menerima tamu. Lalu saya dipersilahkan untuk duduk di sisi bagian depan yang menyerupai balai panjang, posisinya sedikit lebih tinggi. Di sisi bawah terdapat lempengan kayu besi utuh sebagai ubin. Di situlah biasanya tamu terhormat duduk

Dari tempat saya duduk, saya bisa menyaksikan dengan jelas seluruh kampung. Dan rupanya sang raja pada masa itu setiap hari mengawasi warganya melalui tempat yang saya duduki. Saya pun merasa bangga, karena bisa berada di posisi yang sama dengan sang raja yang memerintah kala itu.
Pada sebagian dinding ruangan utama berhiaskan ornamen-ornamen khas Nias yang diukir. Serta sebuah tiang penyangga di tengah ruangan yang menyerupai sebuah cawan dilengkapi dengan ornamen ukiran.
Pandangan mata, lalu saya arahkan ke bagian atas. Terdapat ratusan tengkorak kepala babi yang dipajang berderet di sepanjang langit-langit rumah. Menurut pemilik rumah, jumlah tengkorak babi di sana, kini sudah berkurang jumlahnya karena sebagian besar rusak dimakan usia. Usia Omo Nifalasara Sebua kini telah lebih dari 400 tahun. Dan telah dihuni oleh 6 generasi.
Menurut keterangan Uskup Keuskupan Sibolga, Mgr. Ludovicus Simanullang, OFMCap yang sudah puluhan tahun bertugas di tempat ini, dulunya kepala babi ini adalah tengkorak manusia yang dibunuh, entah dari musuh atau dari kelompoknya sendiri. Seiring dengan perkembangan zaman, tengkorak manusia sudah tidak lagi dipasang.
Sisi belakang rumah difungsikan sebagai ruang dapur dan kamar-kamar. Terdapat beberapa alat masak, dan perabot rumah yang dulu sering digunakan untuk pesta besar yang kini tak lagi digunakan sehingga hanya digantung dinding rumah. Pakaian adat serta pusaka-pusaka tersusun rapi di ruangan belakang.

Kental tradisi megalitikum
Berada di kampung Bawomataluo seperti berada di zaman batu atau megalitikum. Konon keberadaan Desa Bawomataluo memang telah ada semenjak zaman itu. Ini dapat dibuktikan dari banyaknya unsur megalit di kampung ini. Bahkan seluruh permukaan kampung ini tersusun atas batu-batu.
Bukti nyatanya terdapat di depan rumah besar milik sang raja. Sebuah meja batu lengkap dengan kursi yang juga dari batu (Daro-daro atau Harefa) serta beberapa menhir. Batu yang menjulang tinggi adalah batu Faulu (batu tanda menjadi raja) yang sebelah kanan adalah batu Loawo yang sebelah kiri batu Saonigeho, sementara batu datar adalah batu untuk mengenang kebesaran dan jasa kedua orang raja ini. Bentuk batu-batu ini sangat kental unsur megalitnya.
Di atas batu-batu itu hanya si ulu yang bisa duduk disitu bila ada pertemuan. Sementara batu di depan balai desa (Omo Bale) merupakan tempat duduk masyarakat jelata bila ada orahua / pengambilan keputusan.

Bebatuan besar yang digunakan di depan rumah adat ini bukanlah berasal dari Bawomataluo melainkan diambil dari daerah yang jauh dan diangkut oleh ratusan tenaga manusia. Semakin banyak batu-batu yang diletakkan di depan rumah menunjukkan tingkat sosial yang tinggi dari sang pemilik rumah.

Liputan6.com

0 komentar:

Posting Komentar

Author & Editor

Author & Editor
Satrio Muhammad